Kamis, 17 Januari 2013

Irman Aji Saputra


Kerusakan Hutan
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 latar belakang masalah
Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumber daya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.
Kerusakan hutan yang meliputi : kebakaran hutan, penebangan liar dan lainnya merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kerusakan hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asap dari kebakaran hutan mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Dan juga gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara.
Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan dan penebangan liar telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.
Penebangan liar juga dapat berdampak negatif antara lain dapan menyababkan tanah longsor dan banjir. Oleh karena itu hutan kita perlu adanya penjagaan supaya tidak terjadi kebakaran dan penebangan liar dan yang tidak kita inginkan.
Tulisan ini merupakan sintesa dari berbagai pengetahuan tentang hutan, kebakaran hutan dan penebangan liar penanggulangannya yang dikumpulkan dari berbagai sumber dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para peneliti, pengambil kebijakan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi para pencinta lingkungan dan kehutanan.


1. 2 Identifikasi masalah
Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).
Analisis terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah terbakar secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan lebih dari 10 ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia.
penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan Timur adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsuran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan. Namun menurut Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 %.
Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh munculnya fenomena iklim El-Nino seperti kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998). Perkembangan kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran lokasi kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir di seluruh propinsi, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan tetapi juga di lahan non hutan.
Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:
  1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.
  2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.
  3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.
Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH.
Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.
Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.
Sedangkan penebangan liar merupakan suatu kondisi yang sudah tidak asing lagi banyak masyarakat yang tinggal di daerah dekat pegunungan memanfaatkan hutan untuk diambil kayunya,tetapi tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dan Akibat Penebangan Hutan, 2.100 Mata Air Mengering
Kelangkaan minyak tanah yang kerap mendera penduduk di berbagai daerah di Banyumas, Jawa Tengah, akhir-akhir ini dikhawatirkan memacu penduduk kembali menggunakan kayu bakar dan menebang pohon tanaman keras.
Jika itu terjadi, kerusakan sumber air (mata air) akan semakin cepat. Di Banyumas saat ini tinggal 900 mata air, padahal tahun 2001 masih tercatat 3.000 mata air.
Setiap tahun rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan terprogram (hutan produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk, Akan tetapi akibat berbagai tekanan baik kebutuhan hidup maupun perkembangan penduduk, perlindungan terhadap sumber air maupun tanaman keras atau hutan rakyat semakin berat.
Di lain pihak, penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah memperoleh kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi pohonnya.
Kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan minyak tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar.


1. 3 Pembahasan masalah
Beberapa tahun terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/83 dan tahun 1997/98. Pada tahun 1982/83 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta hektar di Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963 (Soeriaatmadja, 1997).
Kemudian rekor tersebut dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 yang telah menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar (Tacconi, 2003).
Selanjutnya kebakaran hutan Indonesia terus berlangsung setiap tahun meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditimbulkannya relatif kecil dan umumnya tidak terdokumentasi dengan baik. Data dari Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 tercatat berkisar antara 3 ribu hektar sampai 515 ribu hektar (Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam, 2003).
1. 3. 1 Kerugian yang ditimbulkannya
Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan tersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).
Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.
1. 3. 2 Dampak Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan yang cukup besar seperti yang terjadi pada tahun 1997/98 menimbulkan dampak yang sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan hewan. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut juga mencemari udara dan meningkatkan gas rumah kaca.
Asap tebal dari kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat terutama gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi khususnya tranportasi udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan laut. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sementara pada transportasi darat, sungai, danau dan laut terjadi beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda.
Kerugian karena terganggunya kesehatan masyarakat, penundaan atau pembatalan penerbangan, dan kecelakaan transportasi di darat, dan di air memang tidak bisa diperhitungkan secara tepat, tetapi dapat dipastikan cukup besar membebani masyarakat dan pelaku bisnis. Dampak kebakaran hutan Indonesia berupa asap tersebut telah melintasi batas negara terutama Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia dan Thailand.
Dampak lainnya adalah kerusakan hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.
Analisis dampak kebakaran hutan masih dalam tahap pengembangan awal, pengetahuan tentang ekosistem yang rumit belum berkembang dengan baik dan informasi berupa ambang kritis perubahan ekologis berkaitan dengan kebakaran sangat terbatas, sehingga dampak kebakaran hutan sulit diperhitungkan secara tepat. Meskipun demikian, berdasarkan perhitungan kasar yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi masyarakat sekitarnya, bahkan dampak tersebut sampai ke negara tetangga.
Sejak kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi pada tahun 1982/83 yang kemudian diikuti rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya dan juga penebangan liar yang terjadi di indonesia ini sebenarnya telah dilaksanakan beberapa langkah, baik bersifat antisipatif (pencegahan) maupun penanggulangannya.
Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain :
(a) Memantapkan kelembagaan dengan membentuk dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran Hutan dan Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan Satlak serta Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI;
(b) Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan;
(c) Melengkapi perangkat keras berupa peralatan pencegah dan pemadam kebakaran hutan.
(d) Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan.
(e) Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran hutan.
(f) Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup.
(g) Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.
Upaya pencegahan agar tidak terjadi penebangan liar diantaranya :
  1. Hutan kita yang belum ada penjaga hutan harus diadakannya penjagaan agar tidak terjadi pencurian.
  2. Diberikan larangan supaya para penebang liar tidak melakukan pencurian
  3. Diberikan sanksi barang siapa yang mengambil hasil hutan dengan sengaja.
Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga nelakukan penanggulangan melalui berbagai kegiatan antara lain :
(a) Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan an juga penjagaan di semua tingkat, serta melakukan pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I dan II.
(b) Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua tingkatan, baik di jajaran Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya, maupun perusahaan-perusahaan.
(c) Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui PUSDALKARHUTDA Tk I dan SATLAK kebakaran hutan dan lahan.
(d) Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain: pasukan BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel dan Kalbar.
1. 3. 3 Peningkatan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan selama ini ternyata belum memberikan hasil yang optimal dan kebakaran hutan masih terus terjadi pada setiap musim kemarau. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:
  1. Kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.
  2. Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah
  3. Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan penyuluhan untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman kebakaran semak belukar dan hutan masih rendah.
  4. Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan kebakaran hutan belum memadai.
Hasil identifikasi dari serentetan kebakaran hutan menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia dan faktor yang memicu meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan perladangan, pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik hukum adat dengan hukum negara, maka untuk meningkatkan efektivitas dan optimasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan perlu upaya penyelesaian masalah yang terkait dengan faktor-faktor tersebut.
Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran disebabkan oleh faktor kemiskinan dan ketidak adilan, rendahnya kesadaran masyarakat, terbatasnya kemampuan aparat, dan minimnya fasilitas untuk penanggulangan kebakaran, maka untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan di masa depan antara lain:
a. Melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan semak belukar.
b. Memberikan penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara, atau merevisi hukum negara dengan mengadopsi hukum adat.
c. Peningkatan kemampuan sumberdaya aparat pemerintah melalui pelatihan maupun pendidikan formal. Pembukaan program studi penanggulangan kebakaran hutan merupakan alternatif yang bisa ditawarkan.
d. Melengkapi fasilitas untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat lunak maupun perangkat kerasnya.
e. Penerapan sangsi hukum pada pelaku pelanggaran dibidang lingkungan khususnya yang memicu atau penyebab langsung terjadinya kebakaran.
1. 4 Tujuan pembahasan
Dari semua apa yang tertulis atau apa yang dibahas diatas bahwa dalam menciptakan hutan yang indah dan lestari, kita sebagai bangsa indonesia wajib menjaga dan melestarikan alam hutan kita agar tetap terjaga dengan baik, agar tidak terjadi kebakaran hutan dan juga penebangan-penebangan liar.
Apabila semua yang telah ditetapkan dalam pemerintahan tidak diperhatikan dengan baik dan dilaksanakan maka dampaknya pun akan terjadi pada penerus-penerus kita nanti.telah dijelaskan bahwa banyak dampak negatif yang terjadi apabila terjadi kebakaran dan penebangan hutan, maka dari itu kita semua harus mencegahnya agar tidak terjadi apa yang tidak kita inginkan di tahun yang akan mendatang.dan apabila semua sudah terjadi maka kita bangun kembali apa yang telah dirusaknya agar menjadi asri kembali.
Dan tujuan dari semua ini yaitu untuk mengingatkan pada semua orang bahwa dampak dari kebakaran dan penebangan liar ini akan membuat alam kita menjadi hancur dan banyak akan terjadi kerusakan –kerusakan akibat dari perbuatan kita sendiri, maka dari itu kita semua harus menjaganya dengan baik agar hutan kita tetap terjaga dengan baik.
1. 5 Metode pengumpulan data
Isi dari semua ini dikumpulkan dari beberapa sumber dan penelitian.dan juga apa yang kita dapatkan dari beberapa sumber di bahas ulang kembali yaitu dicari malalui internet maupun dicari dengan cara menanyakan kepada orang yang bekerja dalam kehutanan setempat agar tidak terjadi kesalahpahaman.
1. 6 Sistematika penyajian
Dalam penulisan ini penyajiannya dengan mengumpulkan sumber-sumber yang telah di dapatkan dan menuliskannya kembali dengan bahasa yang baik dan benar. Dan juga menambahkan apa yang kurang jelas dan kurang dalam penulisannya maupun kurang dimengerti oleh orang banyak.Penulisan makalah ini saya tulis dengan sebaik-baiknya dan banyak penambahan tulisan maupun bahasanya.
BAB II
KERUSAKAN HUTAN INDONESIA
Kerusakan yang terjadi di hutan indonesia merupakan suatu kejadian yang sangat tiddak menyenangkan bagi warga negara indonesia karena Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumber daya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.
Kerusakan hutan yang meliputi: kebakaran dan penebangan liar merupakan contoh yang tidak baik dan semua peristiwa ini pastinya ada dampak dan juga pencegahannya tetapi kita juga jangan menganggap semuanya adalah hanya peristiw yang biasa-biasa saja karena perlu ada pembelajaran dan pelatihan khusus supaya dapat secara langsung mempraktekkannya dan membuat hutan kita menjasi lebih nyaman untuk dilihat dan dikunjungi banyak orang.




BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Sebagai penutup tulisan ini dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan dan perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah.
2. Kebakaran dan penebangan liar merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya hutan dan akhir-akhir ini makin sering terjadi. Kebakaran dan penebangan hutan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.
3. Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah terutama dari Departemen Kehutanan, peningkatan fasilitas untuk mencegah dan menanggulagi kebakaran hutan, dan penebangan liar ,pembenahan bidang hukum dan penerapan sangsi secara tegas
4. Akibat penebangan hutan,2100 mata air mengering dan akibat dari penebangan juga mengakibatkan kerusakan sumber air (mata air) akan semakin cepat.
3. 2 Saran
Bagi para pembaca makalah ini dan juga semua orang bahwa hutan merupakan sumber kehidupan bagi manusia apabila hutan sudah tidak ada lagi maka kehidupan manusia akan berubah dan kemiskinan akan terjadi. Maka dari itu menjaga kelestarian hutan jangan lah dianggap mudah.
Dan bagi para pecinta alam ,teruskanlah usaha penjagaan itu dengan sebaik-baiknya dan juga tingkatkan kewaspadaan terhadap orang-orang yang mau merusaknya, cegah agar tidak terjadi kerusakan dihutan kita ini.
Daftar Pustaka
Danny, W., 2001. Interaksi Ekologi dan Sosial Ekonomi Dengan Kebakaran di Hutan Propinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Paper Presentasi pada Pusdiklat Kehutanan. Bogor. 33 hal.
Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Kebakaran Hutan Menurut Fungsi Hutan, Lima Tahun Terakhir. Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta.
Dove, M.R., 1988. Sistem Perladangan di Indonesia. Suatu studi-kasus dari Kalimantan Barat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 510 hal.
Soemarsono, 1997. Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia (Penyebab, Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan). Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal:1-14.
Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Terhadapnya. Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal: 36-39.
Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak Kebakaran. dalam Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Editor: D. Glover & T. Jessup

Saharjo dan Husaeni, 1998. East Kalimantan Burns. Wildfire 7(7):19-21.
Sumber: 1. Kompas
2. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/kerusakan-hutan-indonesia/

Jipson Yadi


Penyuluhan Tentang Gizi Buruk dan Kurang Gizi

I.              Pendahuluan

Kehidupan modern menuntut kita agar selalu berupaya memelihara dan meningkatkan kesehatan, baik kesehatan pribadi maupun kesehatan lingkungan. Yang dimaksud kesehatan pribadi menurut Muri’fah dan Herdianto (1992: 8) adalah “kesehatan atau kebersihan diri sendiri seutuhnya yaitu meliputi seluruh aspek pribadi, fisik, mental, sosial agar tumbuh dan berkem-bang secara harmonis.” Sedangkan kesehatan lingkungan menurut Muri’fah dan Herdianto (1992: 8) adalah “ Kesehatan yang berada di luar diri meliputi lingkungan
biologis dan lingkungan fisik.”

Sehat adalah tidak adanya gangguan terhadap jasmani, rohani, dan sosial. Kesehatan mencakup pribadi seseorang seutuhnya meliputi sehat pisik, sehat mental, dan sosial. Pemahaman sehat tersebut sesuai dengan pengertian sehat yang dikemukakan WHO yang dikutip oleh Mari’fah (1992: 1) adalah “ keadaan yang meliputi kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kesehatan sosial dan bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat,
dan kelemahan.” Dengan demikian tidak cukup suatu masyarakat bebas dari penyakit, tetapi juga harus mencakup keseluruhan, sehat secara total seperti dikemukakan WHO. Untuk mencapainya, masyarakat perlu diberi pendidikan kesehatan yang secara sistematis akan membekali mereka dalam kehidupannya dan merupakan sikap hidup sehari-hari.

Sikap hidup merupakan pandangan hidup yang harus ditanamkan pada masayarakat dari mulai lahir sampai hayatnya dan harus menjadi kebiasaan hidup sehari hari dalam keluarga maupun dalam, masyarakat. Dengan demikian, akan terbentuk pribadi-pribadi yang sehat, yang akhirnya dapat menunjang terhadap produktivitas tenaga kerja.

Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi (Atmarita, 2004). Kejadian kekurangan gizi sering terluputkan dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup.

Akhir-akhir ini, di masyarakat kita mulai menyeruak banyak masalah kesehatan dan gizi yang perlu mandapat perhatian. Kasus busung lapar misalnya, merupakan contoh betapa pemahaman kese-hatan di masyarakat masih minimal. Sehingga kita tercengang ketika data menunjukkan bahwa di Indonesia anak-anak Balita (di bawah lima tahun) delapan persen menderita busung lapar alias gizi buruk. Kalau proyeksi penduduk Indonesia yang disusun Badan Pusat Statistik tahun 2005 ini jumlah anak Balita usia 0-4 tahun berjumlah 20,87
juta anak (Kom-pas, 28 Mei 2005), itu berarti saat ini ada sekitar 1,67 juta anak Balita yang menderita busung lapar. Belum lagi kasus polio dan kusta yang tahun ini juga sempat mencuat di beberapa daerah di Indonesia.

Urusan kesehatan merupakan urusan lingkungan, sikap, dan perilaku masyarakat. Hal ini diper-kuat hasil penelitian Hendrik L. Blum yang dikutif Saeful Millah (Pikiran Rakyat, 3 Juni 2005), bahwa dari empat faktor kunci yang mempengaruhi derajat kese-hatan, maka aspek pelayanan hanya memiliki kontribusi 20%. Sementara sebagian besar 80%, dipengaruhi oleh tiga faktor lainnya. Yaitu, 45% ditentukan oleh lingkungan, 30% perilaku masyarakat, dan 5% ditentukan faktor keturunan.
Itu artinya urusan kesehatan bukan hanya urusan dokter, bidan, atau tenaga medis lainnya, melainkan urusan berbagai pihak. Terutama aspek perilaku masyarakat dan lingkungan yang harus mendapat perhatian utama.
Berangkat dari rasional tersebut, maka kami sebagai bagian dari masyarakat akademik yang harus melakukan pengabdian kepada masyarakat merasa ter-panggil untuk ikut berkiprah dalam melakukan penyuluhan. Kampus yang dituntut untuk mengadakan Tridarma Perguruan Tinggi, yaitu : pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat sudah seharusnya turut serta dalam mengatasi kesulitan tersebut.

Di Jawa barat, terkait dengan kesehatan masyarakat ini sangat memperihatinkan. Data yang sempat tercatat media, kasus gizi buruk dan penyakit tahun 2005 ini terjadi hampir di seluruh daerah. Jumlah kasus hamper merata di seluruh daerah. Menurut data yang tercatat Harian Pikiran Rakyat misalnya, ribuan balita terserang polio dan diare. Begitu juga dengan gizi buruk, hampir seluruh daerah kabupaten mengalami gizi buruk yang sangat mencolok, bahkan naik dari tahun sebelumnya.

Di Sumedang, gizi buruk dan penyakit yang terjangkit di setiap tahun terus meningkat. Menurut data Pikiran Rakyat, 14 Juni 2005, jumlah balita yang mengalami gizi buruk di Sumedang tahun 2003 sebanyak 843, sedangkan tahun 2004 meningkat menjadi 871 balita. Jumlah tersebut tersebar di beberapa kecamatan. Dari data dan penjelasan di atas maka sudah sepantasnya kampus yang dalam salah satu darmanya harus melaksanakan pengabdian kepada masyarakat turut serta dalam penyuluhan kesehatan gizi dan penyakit kepada masyarakat.

Oleh karena itu, kami bermaksud turut serta mengada-kan penyuluhan mengenai gizi dan
kesehatan serta penyakit.

1.    Permasalahan

Seperti telah diuraikan dalam analisis situasi, maka muncul masalah yang dapat dicoba dipecahkan melalui pengabdian ini. Adapun masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut.

a.    Masyarakat desa Cisitu Kecamatan Cisitu perlu pemahaman pengertian, perubahan sikap,     dan perilaku untuk dapat hidup sehat, oleh karena itu, diperlu- kan penyuluhan tentang gizi.

b.    Masyarakat desa Cisitu Kecamatan Cisitu perlu pemahaman pengertian, pencegahan penya-kit yang dapat menjadi wabah dalam keluarganya.



Dari rincian masalah di atas dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1)     Bagaimana memahamkan masyarakat dan menyadarkan masyarakat desa Cisitu Kecamatan Cisitu sehingga dapat bersikap positif tentang perlunya gizi, macam gizi yang harus mereka perhatikan dalam kehidupan?

2)     Bagaimana memahamkan masyarakat dan menyadarkan masyarakat desa Cisitu Kecamatan Cisitu sehingga dapat bersikap positif tentang pengetahuan berbagai penyakit dan pencegahan penyakit yang harus mereka perhatikan dalam kehidupan?






2.    Tujuan Pengabdian

Tujuan kegiatan pengabdian ini secara umum ingin membantu masyarakat dalam memahami dan mengubah sikap masyarakat desa Cisitu pada pemahaman gizi, kesehatan, dan penyakit yang dapat mengenai mereka dalam kehidupannya. Selaku yang mendukung perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat desa Cisitu serta pencegahan terhadap penyakit.
Tumbuhnya kesadaran bahwa masalah kesehatan bukan saja tanggung jawab pemerintah, namun juga tanggung jawab masyarakat dan lingkungan sekitar. Kepedulian masyarakat secara populis akan dapat mencegah ter-sebarnya penyakit dan keku-rangan gizi di masyarakat. Maka akan terjadi kesadaran kolektif dan kesalehan sosial.

II.            Kajian Teori

1.    Masalah Gizi di Indonesia

Sampai sekarang masalah gizi di Indonesia masih menjadi masalah. Terutama berkaitan dengan gizi kurang dan gizi buruk baik pada balita maupun pada orang dewasa. Pada orang dewasa, gizi kurang dan gizi buruk terdapat pada wanita hamil dan menyusui serta yang berpenghasilan rendah. Kekurangan gizi ini terkait dengan kekurangan : a) kalori dan protein, b) kekurangan vitamin, c) gondok endemik, dan d) anemia gizi. (Depkes, 1990)
Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi (Atmarita, 2004). Kejadian kekurangan gizi sering terluputkan dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup.

Program yang dilaksanakan pemerintah terkait dengan gizi ini, diupayakan untuk terus menurun-kan angka penyakit gizi kurang yang umumnya banyak diderta oleh masyarakat berpenghasilan rendah, terutama balita dan wanita. Upaya tersebut mendukung angka kematian bayi dan balita serta kematian ibu. Program pemerintah juga berupaya untuk berusaha memperbaiki gizi masyarakat pada umumnya melalui pola konsumsi pangan yang
makin beraneka ragam, seimbang dan bermutu gizi. Perbaikan tersebut juga diperlukan oleh kelompok masyarakat yang mempunyai resiko terhadap beberapa penyakit, misalnya jantung dan pembuluh darah.

Usaha yang digalakan pemerintah yaitu dengan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yaitu untuk meningkatkan gizi dalam tiap keluarga. UPGK ini kegiatannya meliputi kegiatan sebagai berikut.
a)    Merupakan usaha keluarga untuk memperbaiki gizi seluruh anggota keluarga.

b)    Dilaksanakan oleh keluarga/masyarakat dengan kader sebagai penggerak masyarakat dan petugas berbagai sector.


c)    Merupakan bagian dari keluarga sehari-hari dan juga meru-pakan bagian integral dari pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat.

d)    Secara oprasional adalah rangkaian kegiatan yang saling mendukung untuk melaksanakan alih teknologi sederhana kepada masya-rakat.




Bentuk kegiatannya menurut Depkes (1990) dapat berupa kegiatan sebagai berikut.
a)    Penyuluhahn gizi masyarakat, dalam hal ini bertujuan agar terjadi proses perubahan pengertian, sikap, dan perilaku yang lebih sehat mengenai kegunaan dan pemanfaatan pelayanan gizi yang tersedia di masyarakat.

b)    Pelayanan gizi melalui posyan-du, kegiatan ini untuk menu-runkan angka kekurangan protein dan kalori, kebutaan karena kurang vitamin A, serta anmeia untuk ibu hamil.


c)    Pemanfaatan tanaman pekarangan, kegiatan ini berupa penyuluhan dan bantuan terbatas terhadap pembudidayaan tanaman pekarangan.

3.    Makanan Sehat

Ilmu gizi adalah pengetahuan tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan atau pengetahuan tentang cara memberikan makanan dengan benar, agar tubuh berada keadaan sehat yang sebaik-baiknya.

Semua zat gizi dalam badan adalah penting dan harus terdapat dalam makanan sehari-hari. Tidak satupun bahan makanan yang mengandung zat gizi secara lengkap dalam jumlah cukup besar untuk memenuhi kebutuhan badan. Beberapa bahan makanan mengandung banyak protein dan sedikit hidrat arang, yang disebut sumber protein. Beberapa makanan lain banyak mengandung vitamin tetapi sedikit mengandung protein, sumber makanan demikian merupakan makanan sumber vitamin.

4.    Kandungan Zat Gizi

Kebutuhan akan zat gizi mutlak dibutuhkan tubuh manusia agar dapat melaksanakan fungsi normalnya. Dalam menentukan besarnya zat gizi harus dimulai dengan menentukan besarnya kebutuhan energi. Menu yang disusun berdasarkan kecukupan energi dan zat gizi penghasil energi seimbang serta dibuat dari bahan makanan yang memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna. Pada umumnya mengandung vitamin dan mineral sesuai dengan kebutuhan.

Energi berguna untuk melaksanakan proses metabolisme, melakukan aktivitas fisik, menjalan-kan pencernaan, dan pertumbuhan. Besarnya kebutuhan energi tergantung pada keadaan faktor yang mempengaruhinya, yaitu : berat badan, tinggi badan, umur, lamanya kegiatan, dan sebagainya.

Kandungan zat gizi dalam makanan menurut Rusli Lutan dkk. (2000), yaitu harus mengandung : a) protein, yaitu kebutuhan untuk tenaga,
b) lemak, untuk sumber energi bagi proses katabolisme,
c) karbohidrat,
d) vitamin,
e) mineral, f) air.


4. Penyakit dan Gizi
Ada beberapa penyakit yang terkait langsung dengan kekurangan gizi ini, yaitu :
a) gondok endemik,
 b)diare,
c) kekurangan vitamin (avitaminosis),
d) anemia gizi (Depkes, 1990)

a)    Gondok endemik, yaitu pem-besaran kelenjar tyroid akibat kekurangan unsur yodium yang diperlukan untuk pembentukan hormon tyroid dalam waktu lama.

b)    Kekurangan vitamin, menderita salah satu penyakit akibat kekurangan salah satu vitamin. Misalnya kekurangan vitamin A bisa mengakibatkan buta senja, anemia, atau mudah terkena diare.


c)    Anemia gizi adalah keadaan zat merah darah atau Hb lebih rendah dari normal. Akibat kekurangan zat giziyang diperlukan.

III.           Kesimpulan dan Rekomendasi

1.    Kesimpulan

Dari hasil pelaksanaan kegiatan pengabdian dalam bentuk kun-jungan langsung keluarga. Ceramah penyuluhan dan demonstrasi, dapat disimpulkan sebagai berikut.
a.    Masyarakat di desa Cisitu bukan tidak peduli masalah kesehatan, tapi terkadang terlupakan dengan km kehidupan, dengan demikian penyuluhan secara berkala dengan pendekatan kekeluargaan perlu terus dilanjutkan.

b.    Banyak faktor yang mempengaruhi keadaan kesehatan dan gizi masyarakat, tidak sekadar persoalan kelemahan ekonomi, tetapi multifaktor yang sangat erat jalinannya, dengan demikian pemerintah desa, kecamatan maupun kabupaten harus dapat mengatasi permasalahan dengan multipendekatan, dan multi pandang sehingga dapat diselesaikan secara komprehensif dan tepat guna.


c.    Masyarakat umumnya lebih memerlukan contoh dan pembuktian daripada sekadar teori, oleh karena itu penyuluhan kekeluargaan dengan pemberian contoh dan demonstrasi lebih dikehendaki oleh masyarakat.

d.    Faktor keengganan masyarakat untuk melaporkan kejadian menyangkut kesehatan dan gizi kepada kader, merupakan hambatan tersendiri di masyarakat. Demikian juga perilaku aparat yang sering menutupi keadaan masyarakat yang mengalami kekurangan gizi dan kesehatan merupakan kendala yang perlu disadari oleh semua pihak.






Dengan demikian harus dibiasakan masyarakat berani mengadu dan bertanya bila ada permasalahanmenyangkut gizi dan kesahatannya. Pemerintah juga tidak perlu takut bila mendapati warganya yang menderita sakit atau kurang gizi untuk sesegera mungkin ditanggulangi. Sikap tidak ingin tercela di mata atasan atau menjadi aib karena masyarakatnya mendapat musibah merupakan cara pandang aparat yang kurang bertanggung jawab. Sudah tidak waktunya lagi asal selamat, atau asal bapak senang.

2.    Rekomendasi

Sebagai implikasi dari hasil pengabdian kepada masyarakat ini, berikut dikemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dalam upaya perbaikan dan pananggulangan permasalahan gizi dan kesehatan masyarakat.

a.    Posyandu maupun Puskesmas setempat harus selalu memperbaharui data dan informasi secara periodic untuk dapat digunakan dalam perencanaan program yang benar dan efektif.

b.    Berbagai pihak, sudah barang tentu pemerintah, berupaya harus terus menanggulangi program perbaikan gizi dan kesehatan yang bersifat preventif untuk jangka panjang, semen-tara kuratif dapat diberikan pada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan.


c.    Bentuk program efektif seperti perbaikan perilaku kesehatan dan gizi tingkat keluarga seperti yang dilakukan dalam pengabdian ini harus dilakukan secara profesional dengan ketentuan yang spesifik lokal.

d.    Pemerintah perlu upaya pemberdayaan keluarga dan menciptakan kerjaama dengan swasta.


e.    Secara bertahap mutu pendidikan masyarakat sasaran pengabdian ini harus terus ditingkatkan, karena ini merupakan strategi jangka panjang yang dapat mengangkat masyarakat di Cisitu ini dari berbagai masalah gizi dan kesehatan.
















Daftar Pustaka

·         Atmarita, T. S F. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah. Direktorat Gizi Masyarakat. Departemen Kesehatan.
·         Depkes. 1990. Pedoman Kerja Puskesmas. Jakarta: Depkes RI
·         Millah, S. 2005. “ Memangnya Posyandu Masih Ada?”. Pikiran Rakyat. 3 Juni 2005.
·         Muri’fah dan Herdianto. 1992. Pendidikan Kesehatan. Jakarta: Dep.
·         Pikiran Rakyat. 2005. “Kasus Kurang Gizi Merata di Jawa Barat”. 14 Juni 2005.
·         Rusli Lutan. 2000. Gizi Olahraga. Jakarta: Depdiknas.